Ceritanya kurang lebih sebulan yang lalu gue di-tag dalam sebuah foto yang berisi undangan untuk datang ke acara launching novel baru dari salah satu sahabat gue yang cukup produktif di bidang menulis novel. Sebut saja namanya Supri. Di foto undangan itu ada hampir ratusan icon "Love", "Smile", "Laugh", dan ada juga puluhan komentar penuh antusiasme mereka (yang sebagian besar adalah teman-teman gue juga). Ada juga yang bilang "Aku pasti datang!", "Sampe ketemu di sana ya!", "Good luck bro! See you there!", dan gue nggak komen apa-apa karena gue belum bisa memastikan bisa hadir atau enggak.
Hari H pun datang. Gue datang ke acara launching novel tersebut. Ternyata gue bisa hadir, karena hari itu gue lagi males jalan ama pacar-pacar gue. Sesampainya di venue, Supri sudah beraksi di atas panggung. Ada ratusan pembaca antusiasnya yang duduk di kursi-kursi yang tersedia di depan panggung. Terus gue nengok kanan-kiri, gue nggak nemu satupun orang yang komen penuh antusiasme di Path itu. Beberapa menit kemudian, baru deh dateng satu orang yang gue kenal. Hingga akhir acara, dari semua orang yang komen di Path, yang akhirnya hadir di acara itu memang cuma gue dan dia. Yang lainnya? Mungkin masih sibuk nge-love-in poto-poto di Path.
Gue, sebagai orang yang hidup dan bergaul dari zaman belum ada internet, belum ada wifi, dan masih banyak T-rex yang memangsa manusia, hingga zaman yang didominasi oleh internet, merasakan perbedaan kualitas pertemanan. Sadar atau tidak, teknologi sudah membuat kita semakin merasa kesepian. Bisa kita compare zaman teknologi masih seadanya dan zaman sekarang deh. Dulu, ada sebuah ruangan di dalam rumah yang sebutannya ruang keluarga. Kenapa? Karena di ruangan itu biasanya sekeluarga ngumpul bersama, nonton satu TV, dan kadang anak-anaknya saling bacok-bacokan buat rebutan remote TV. Tapi dengan kemajuan teknologi seperti sekarang, ruang keluarga jarang terisi. Ortu nonton TV di kamar, anak-anak main gadget di kamar masing-masing. Ruang keluarga? Dipake pembantu nonton acara goyang-goyang ayan.
Di zaman serba internet ini, ada sebuah aplikasi yang mempermudah manusia untuk berkomunikasi dan bersosialisasi. Ada aplikasi untuk berkirim pesan (messenger), ada juga aplikasi untuk bersosialisasi dan berbagi banyak hal (Social Media). Aplikasi-aplikasi ini tentunya sangat mempermudah kita untuk berkomunikasi dengan sesama. Zaman gue kecil dulu, mau ngobrol temen, gue kudu dateng ke rumahnya. Itu pun belum tentu orangnya ada di rumah. Zaman sekarang, gue tinggal ngechat aja pake aplikasi messenger gue. Atau gue bisa nyusul di mana teman gue lagi nongkrong dengan petunjuk dari di mana dia check in lokasi social medianya. Bahkan, di zaman dulu gue bisa hafal, jam sekian, temen-temen gue pada nongkrong di mana. Mungkin itu insting bawaan ikatan hati kali ye. :D
Sayangnya, kemudahan-kemudahan yang ditawarkan aplikasi ini malah menciptakan efek candu kepada penggunanya. Karena untuk ngobrol sudah nggak perlu ketemu lagi, akhirnya para pengguna aplikasi yang udah kecanduan malah cenderung males ketemu. Gara-gara kebiasaan semacam ini, sebagian orang malah lebih sering menunjukkan simpati dibandingkan empati. Padahal, buat gue, empati itu lebih penting daripada simpati, karena empati itu efeknya lebih terasa.
Eh.. Empati dan Simpati itu bedanya apa sih, Al?
Simpati: Hape lo rusak? Sabar ya.
Empati: Hape lo rusak? Tenang, lo boleh make punya gue kalo lagi butuh.
Atau,
Simpati: Lo lagi patah hati? Yang kuat ya.
Empati: Lo lagi patah hati? Tenang, lo boleh make pacar gue kalo lagi butuh.
Udah paham?
Jadi, zaman gue sekolah dulu, kalo ada teman sekelas yang sakit, gue dan teman-teman pada patungan buat beli buah, terus jengukin anaknya rame-rame. Tapi di zaman serba internet ini, sebagian orang lebih milih buat ngetik "GWS ya!" dibandingin ngejenguk di rumahnya. Zaman belum ada internet, ada teman ulang tahun kita bisa inget dan bawain kue ke rumahnya. Tapi di zaman sekarang, sebagian orang baru inget ultah teman karena diingetin facebook dan ngucapinnya cuma via social media dengan ucapan "HBD WYATB!".
Secara tidak langsung, semua perbuatan simpati tanpa empati itu membuat ikatan sosial antara manusia semakin melemah. Tidak ada ikatan hati yang benar-benar kuat karena tidak banyak lagi perbuatan yang bisa dikenang. Secara, semuanya sudah terwakili oleh teks dan gambar doang. Apalagi untuk orang-orang yang benar-benar sudah kecanduan sama internet, mereka bakal berlomba-lomba untuk jadi eksis. Eksis dalam arti punya banyak orang yang dikenal, bukan punya banyak teman yang benar-benar teman. Mereka menargetkan pertemanan mereka bukan dari kualitas pertemanan, tapi kuantitas/jumlah teman. Kalo udah gitu, endingnya dia bakal punyak banyak teman, tapi sedikit yang benar-benar bisa memberi kepedulian yang nyata. Kalo udah gini, bukannya dia tetap kesepian?
Gue, sebagai orang yang masih mencoba untuk mengimbangkan antara kehidupan sosial di dunia nyata dan di internet, kadang merasa kesal dengan ulah teman-teman yang terlalu kecanduan dengan sosial media. Paling sebal di saat kita janjian untuk ketemuan dengan harapan di sana gue bisa dengerin ketawa yang ada suaranya, bukan cuma emoticon semata. Tapi pada prakteknya, teman-teman gue malah pada nunduk, megangin gadget, senyum-senyum, dan meja kami hening. Misalpun gue nanyain tentang sesuatu buat buka topik obrolan, pertanyaan gue bakal dijawab satu menit atau dua menit kemudian setelah mereka kelar menjawab chat atau komen orang di social medianya. Don't you know it sucks when you realize no one cares when you're really there, and they get busy with someones who are not there?
Gue khawatir, kalo sampai kehidupan sosial bergeser ke arah digital semua, kelak misal kita nikahin anak-anak kita, nggak ada tamu yang dateng, tapi cuma ucapan "Semoga langgeng ya!" di social media, dan sumbangan kondangannya ditransfer semua. Atau, kalo kelak kita meninggal, nggak ada yang ngelayat, tapi cuma ada ucapan "Turut berduka cita" di social media. ORANG YANG UDAH MENINGGAL NGGAK BISA MAIN SOCIAL MEDIA, KALI!!
So, dengan menulis postingan ini gue berharap, bukan memaksa, teman-teman mau menyeimbangkan kehidupan sosial di internet dan di kehidupan sosial di dunia nyata. Agar tercipta ikatan emosional yang nyata juga di sana. Kita imbangkan kembali fungsi pertemanan kita sebagai media untuk berbagi kebahagiaan dan kesedihan secara nyata. Saat teman sedih, jangan cuma dikasih emoticon peluk aja, tapi datengin, peluk dan usap matanya. Gue yakin, cara itu lebih efektif untuk mengurangi kesedihannya.
Di zaman serba internet ini, semua orang bisa bilang peduli, sayang, cinta, tapi cuma sedikit orang yang bisa nunjukin itu semua dengan perbuatan nyata.
Yap.. This is the end of the post. Sekali lagi, gue cuma sharing. Boleh diikutin atau enggak. Yang jelas, gue yakin apa yang gue sampein ini nggak mengada-ada. Kalo kalian mau berbagi tentang pengalaman kalian mengenai masalah kehidupan sosial di zaman sekarang, silakan share di comment box ya! :D
CIAO!