Saat gue baru pindah di Jakarta, gue nemuin culture shock yang lumayan bikin gue keliatan kayak orang yang kekurangan garam beryodium. Keseringan bengong, heran, dan ngileran.
Salah satunya, gue pernah kejebak hujan pas abis meeting di sebuah cafe area Senayan. Sejam lebih gue nunggu, hujan nggak kunjung reda. Karena hujan terlampau deras, gue nggak bisa nyari taksi di pinggir jalan dong. Gue cuma bengong nungguin hujan di emperan café. Sampai akhirnya, datang seorang anak kecil nyamperin gue sambil bawa payung.
“Mau pergi ya bang?” Tanyanya sambil mengelap wajahnya yang basah. Gue lumayan heran, dia bawa payung, tapi kok payungnya nggak dipake?
“Iya dek.. Mau nyari taksi, tapi masih ujan.”
“Ayo bang, aku anter ke pinggir jalan pake payung sampai nemu taksi.” Anak itu dengan ramah menawarkan bantuan.
“Serius?” Gue agak kaget melihat tawaran anak itu. Gue kaget karena konon, sebagian orang Jakarta itu individualis. Susah buat bantuin orang lain. Terlalu sibuk sendiri.
“Serius lah! Ayo!” Jawab bocah itu sambil membuka payungnya.
Gue pun meninggalkan café menuju pinggir jalan. Bocah itu memayungi gue, tapi dia sendiri kehujanan. Gue ngerasa agak sungkan.
“Ayo Dek.. Kamu ikut payungan juga aja.” Gue tarik dia biar berdiri di bawah payung.
“Nggak apa-apa bang. Udah terlanjur basah nih.” Dia kembali menarik diri dan hujan-hujanan.
Kami menunggu taksi di pinggir jalan selama kurang lebih 5 menit, sampai akhirnya ada sebuah mobil taksi menghampiri kami. Gue segera masuk ke dalam taksi setelah bilang makasih, lalu menutup pintu. Tapi beberapa saat kemudian tuh anak ngetok-ngetok jendela taksi. Gue segera membuka jendela, dan bertanya,
“Ya dek?”
“Jadi 10 ribu bang..” Jawab anak itu kembali sambil ngelapin wajahnya yang penuh air hujan.
“He?” Gue bingung apa maksud anak itu sambil siap-siap megangin Rice-cooker. Jaga-jaga kalo dia mau malak pake senjata tajam, gue bakal rebus kepalanya.
“Iya.. Abang harus bayar 10 ribu buat ojek payungnya.”
Gue segera merogoh duit ceban dan gue kasih ke anak itu. Meskipun di dalam hati gue bertanya “WHAT THE HELL IS UMBRELLA-TAXI?”
Di jalan, gue nanya kepada Pak Sopir taksi, lalu beliau menjelaskan tentang jasa bernama ojek-payung itu. Jadi, ojek payung adalah usaha yang menawarkan jasa nganterin orang yang kejebak hujan ke titik tertentu dengan memakai payung agar tidak kehujanan. Well, gue nggak pernah nemu jasa semacam itu di Jogja. Wajar kalo gue sempet bengong pas ngira gue dipalak bocah.
Apa yang dilakuin anak kecil itu adalah bisnis yang muncul karena kejelian pelakunya dalam melihat peluang. Ada banyak lagi bisnis nyeleneh yang gue temuin di Jakarta yang lahir dari peluang. Misal:
Polisi Cepek
Kalo lo hidup di Jakarta, atau kota-kota besar yang tingkat macetnya udah naudzubillahimindzalik, lo pasti pernah nemuin orang yang berdiri di persimpangan jalan sambil niup-niup peluit dan sibuk ngatur jalan. Tapi dilihat dari pakaian dan tampangnya, tentunya dia bukan polisi. Di Jakarta, orang yang beraktivitas begini, sebutannya adalah Polisi Cepek. Mereka mengatur lalulintas di daerah-daerah rawan macet agar semua pengendara mendapatkan giliran untuk lewat.
Nah, mereka dapet duitnya dari mana?
Ya dari pengendara yang lewat lah. Emang sih, nggak ada tarif khususnya dan nggak wajib buat ngebayar mereka, tapi sebaiknya memang siapin duit receh buat mengapresiasi usaha mereka yang sudah melancarkan perjalanan kita sambil panas-panasan di jalan. Anehnya, selama gue jalan di Jakarta, gue lebih sering nemu Polisi Cepek ngatur jalan, dibanding Polisi cepak. Tapi setidaknya Polisi Cepek nggak bisa nilang lah.
Joki 3in1
Buat yang di luar Jakarta, gue jelasin dulu. Jadi, di hari-hari kerja (Senin-Jumat) ada aturan bernama 3in1 di beberapa jalan yang rawan macet seperti jalanan di area perkantoran Sudirman.
3in1? Apa itu?
Jadi, setiap pukul 7:00-10:00 pagi dan pukul 16:30-19:00, beberapa ruas jalan yang udah ditunjuk, hanya boleh dilewati mobil yang berpenumpang 3 orang atau lebih. Jadi, orang yang nyetir 1 mobil sendirian atau berdua, bakal ditilang.
Biar apa tuh?
Ya demi mengurangi jumlah kendaraan yang melewati ruas jalan itu, sehingga kemacetan bisa diminimalisir di area itu.
Nah, aturan itu menciptakan peluang bagi orang-orang kreatif di ibu kota. Kalo lo mau ke Sudirman di jam-jam berlakunya 3in1, biasanya sebelum sampai ke area itu lo bakal nemu banyak orang yang ngacungin jari di pinggir jalan seolah-olah mau numpang. Tapi tujuan mereka bukan mau numpang, tapi melengkapi jumlah penumpang di mobil lo biar jadi 3 orang, sehingga elo bisa lewat area 3in1 dengan selamat tanpa ditilang. Jadi, kalo elo masih baru di Jakarta, saat liat orang-orang ini, jangan langsung lo angkut dengan dasar mau berbaik hati.
Apakah jasa ini gratis? Enggak.
Para Joki 3in1 ini punya tarif khusus. Rata-rata sih 20 ribu/orang. Kalo bisa nawar, bisa lebih murah. Dulu gue pernah hampir dipalak saat tergiur untuk memakai jasa mereka.
“Gue harus bayar berapa mas?” Tanya gue sebelum mengizinkan joki itu masuk ke dalam mobil.
“50 ribu deh.. Berdua jadi cepek.” Jawab tuh orang dengan santai. Kaget dengan tarif yang dia patokin, gue pun jawab,
“Nggak jadi deh.. Mending gue ditilang ajah. Bye!”
Gue pun ngacir.
Tukang Parkir Liar
Gue yakin, di setiap kota pasti ada jasa seperti ini. Iya, dengan jumlah kendaraan terbesar ketiga di Asia, praktis penumpukan kendaraan terjadi di berbagai sisi negeri ini. Terutama di kota-kota besar yang tingkat mobilitasnya tinggi. Hal ini memberi efek samping: Jumlah tempat parkir yang disediakan di mal ataupun perkantoran tidak mencukupi.
Peluang ini pun terbaca oleh para orang-orang kreatif yang siap menjawab keresahan para pemilik kendaraan yang bingung mau parkir di mana. Akhirnya, mereka menyewa lahan untuk digunakan sebagai tempat usaha parkir mereka. Dan memang, usaha seperti ini nggak pernah sepi, karena minimnya tempat parkir legal. Penghasilan para tukang parkir liar ini juga cukup fantastis. Dengan tarif 2000 per motor, bayangkan kalo ada 1000 motor yang mereka parkirin sehari. Jadi 2 juta sehari. Iya, sehari. Beuh.. Gajinya ngalahin gaji resmi Bupati.
Penjual Tas Belanja
Ini adalah usaha paling absurd yang pernah gue temuin. Kalo lo pernah turun di halte Tosari, lalu melewati jembatan penyeberangan menuju GI di weekend, lo bakal nemuin penjual tas belanja branded. Iya, tas belanja branded, bukan tas branded.
Awalnya gue penasaran kenapa mereka jualan tas begituan, gue kira ya cuma buat nenteng barang kayak biasanya. Ternyata, mereka punya konsumen yang unik. Yaitu orang-orang yang pengin keliatan bergengsi dan belanja barang-barang branded. Intinya, orang-orang bakal beli tas belanja branded itu, terus diisi barang-barang nggak penting dari rumah buat ditenteng-tenteng di mall biar keliatan kayak orang kaya yang abis belanja produk-produk mahal. Duh gusti. Ada-ada aja yah, cara orang nurutin gengsi.
Semua pekerjaan di atas tentunya nggak memerlukan ijazah atau skill khusus yang harus dipelajari bertahun-tahun. Profesi itu dilahirkan oleh kejelian manusia untuk melihat peluang yang ada. Dan nyatanya, profesi-profesi itu bener-bener bisa menghidupi mereka.
Gue percaya, profesi yang laku itu biasanya profesi yang lahir dari keresahan. Saat kita mampu mengatasi keresahan itu, orang pasti akan mau “membeli” jasa kita. Contoh simpelnya, yang lagi booming sekarang, jasa ojek yang bisa dipesan pake smartphone. Itu adalah jawaban dari keresahan orang-orang yang mau bepergian pakai kendaraan umum. Banyak orang yang resah dengan resiko saat mengendarai kendaraan umum. Misal, takut kecopetan, takut diculik, atau malas nego-negoan sama tukang ojek yang suka malak tarif. Dengan menawarkan jasa pencarian tukang ojek menggunakan smartphone, pengguna jelas-jelas mendapatkan jaminan keamanan karena si driver jelas identitasnya, dan tarifnya flat. Jadi, penumpang tidak perlu takut dipalak.
Itu tadi cuma contoh hasil kreativitas orang yang pandai melihat peluang. Bayangkan kerennya ide pencipta jasa ojek online itu. Dia punya perusahaan jasa transportasi umum, tapi nggak perlu punya motor satu pun! Modalnya cuma kreativitas.
Nah, sekarang gue berharap kalian juga bisa seperti itu. Mampu melihat peluang yang ada, untuk diberdayakan menjadi pekerjaan yang tentunya bisa membantu sesama, serta bisa membuat kalian mendapatkan upah atas jasa yang kalian jual itu. Peluang ada di mana-mana, asalkan kita jeli melihat keresahan orang-orang di lingkungan kita. Jadi, jangan mengeluh nyari pekerjaan susah, mulailah berusaha menciptakan peluang sendiri.
If I don’t get a job, I’ll create one. What do you think?