“Hai Reyna.. Hari ini kamu ada acara, nggak? Aku punya 2 tiket bioskop nih, nonton yuk!” Foto 2 tiket bioskop ku kirim bersamaan dengan chat itu kepada Reyna.
Sembari menunggu balasan dari Reyna, aku kembali memasukkan 2 tiket bioskop untuk film berjudul SAW itu ke dalam kantung jaket army yang ku kenakan. Bukan, aku bukan bermaksud membuat Reyna ketakutan di dalam bioskop karena menonton film sadis, lalu berharap dia memelukku kencang-kencang. Tidak.. Aku tidak serendah itu. Aku tak pernah mengharapkan pelukan hasil keterpaksaan. Aku mengharapkan pelukan yang memang dengan ikhlas diberikan, karena pelukan yang seperti itulah yang mampu menciptakan kehangatan.
Aku memilih film SAW karena dari sosial medianya, Reyna suka membahas film-film thriller dan horror. Itulah kenapa, aku memilih film yang dia suka untuk kami tonton. Meskipun dalam sepanjang film itu, mungkin aku akan lebih sering menjerit dan berharap jantungku aku tinggalkan di rumah. Iya, aku tak pernah siap melihat adegan horor maupun sadis. Aku jadi ingat saat SD, ada teman sekelasku pertama kali mengalami menstruasi, rok dan kakinya berlumuran darah. Aku melihat darah menetes ke lantai kelas. Saat itu pula, aku pingsan hingga usai jam sekolah. Bisakah kamu bayangkan, pria seperti aku, harus menonton karakter film yang disiksa dan dipotong-potong anggota tubuhnya? Namun, itulah yang dinamakan pengorbanan, mengurangi sedikit kenyamanan kita, untuk kenyamanan orang lain yang kita cinta.
Beberapa kali notifikasi handphone-ku berbunyi, dan dengan sigap aku segera membukanya. Namun bukan balasan dari Reyna yang aku terima, melainkan penawaran pinjaman tanpa agunan yang ditawarkan secara acak oleh para pelaku telemarketing. Hingga sore menjelang, tak ada balasan dari Reyna. Aku pun memutuskan untuk tetap menonton film sadis itu tanpa Reyna.
Sesampainya aku di depan pintu teater, aku sempat berhenti sesaat, lalu menoleh ke arah pintu masuk bioskop. Berharap tiba-tiba muncul keajaiban, Reyna bersedia datang dan menonton film bersamaku. Namun aku harus menghadapi risiko terbesar dari harapan, yaitu kekecewaan. Aku tak melihat Reyna, hanya beberapa wajah asing yang terlihat mesra dan ceria bersama pasangan-pasangannya.
Dengan berat hati, aku melangkahkan kaki, maju memasuki ruang teater 2. Aku sudah berpikir di sepanjang film aku hanya akan menutup mata, menghindari adegan-adegan sadis yang dirancang sempurna oleh sang sutradara. Mungkin kamu akan mempertanyakan, kenapa aku tetap menonton film itu tanpa Reyna? Kenapa aku tetap bertahan sendirian menonton film yang aku tak kuat untuk melihatnya?
Jawabanku sederhana saja. Aku hanya ingin menjadi seorang pria yang punya komitmen kepada diri sendiri. Bahwa, apabila aku sudah memilih untuk menonton film hari itu, mengajak Reyna untuk duduk di sampingku, maka aku harus menyelesaikan rencana itu dengan maupun tanpa Reyna. Aku harus komit kepada pilihanku sendiri, kalo aku gagal dengan komitmen ini, bagaimana aku bisa menawarkan komitmenku kepada orang lain?
Oke.. Oke.. Kamu mau jawaban jujur tanpa gengsi dan sok keren dari aku? Jawaban dari hati kecilku untuk pertanyaan kenapa aku masih nekat nonton film itu adalah, aku masih berharap Reyna mengabari dan menyusulku ke bioskop, untuk kemudian duduk di sebelahku di sepanjang film berputar. Itu akan menjadi moment sempurna bagiku, karena aku hanya akan sibuk memandangi indah wajah Reyna, tanpa bisa terusik oleh apapun yang terjadi di cerita film itu.
Aku duduk di bagian tengah di deretan G kursi bioskop. Sengaja ku pilih tempat duduk yang tak begitu jauh dari layar bioskop, agar cahaya yang berpendar dari layar, mampu menyirat ke wajah Reyna, sehingga aku bisa dengan jelas menikmati setiap ekspresinya. Aku sudah memikirkan semua rencana itu sejak awal. Hey! Aku adalah seorang pria yang penuh dengan rencana. Karena aku tak mau hidupku berjalan tanpa jelas arahnya. Bahkan, aku pun sudah merencanakan untuk mencintai Reyna, meskipun dia belum begitu mengenalku sebaik aku mengenalnya.
Film sudah hampir mulai, lampu studio mulai padam. Aku menoleh ke sekitar, ruang video hampir penuh dengan muda-mudi berpasangan, bergandengan, dan berpelukan. Sedangkan tanganku? Hanya mampu menggenggam pahaku sendiri. Rasa tegang mulai menyeruak saat musik dengan nada-nada mencekam mulai berputar di studio.
“Aaaaaarrrggg!!!”
Iya, itu teriakan yang keluar dari mulutku. Aku menggelinjang dan berdiri dari kursi. Tampaknya orang-orang di sekitarku kebingungan melihatku yang histeris dan ketakutan, padahal di layar bioskop baru muncul judul filmnya.
Teriakanku tadi beralasan, saat kepalaku sedang kosong, handphone-ku bergetar di kantung celanaku. Aku kaget karena mengira ada binatang yang menggerayangi selangkanganku. Aku pun kembali duduk, dan memeriksa siapakah yang menggetarkan handphone-ku. Senyum lebar pun tergambar di mukaku. Reynata membalas chatku, sayang saat ku buka notifikasi itu, chat Reynata bukan mengiyakan ajakanku untuk nonton,
“Sorry.. Gue masih sibuk di kantor nih sampe malem. Jadi gue gak bisa nonton bareng lo deh.”
Aku tersenyum membaca chat dari Reyna.
“Oh.. Gapapa Rey.. Mungkin bisa lain kali. Selamat berak” Belum selesai aku menuliskan chat, jempol jahanamku memencet tombol send.
“Arrrrrggghhh!!” Spontan aku berteriak lagi karena kesalahan fatalku tadi. Orang-orang kembali melihatku dengan heran, karena adegan di filmnya sedang ada adegan bahagia si karakter dan masa lalunya.
Aku coba ketik ulang chatku ke Reyna, “Selamat beraktivitas kembali, maksudku.. maaf, kepencet send”
Sebelum aku mengirimkan chat itu, Reyna sudah membalas lagi chatku, “Kok berak? Btw, ini siapa, ya? Kayaknya gue belum save nomor lo di handphone gue. Terus, foto profile chat lo juga gambar helm.”
Aku revisi chat yang mau aku kirimkan ke Reyna, “Maaf.. maksudku ‘selamat beraktivitas kembali’. Tadi kepencet send sebelum selesai ngetik”.
“Oiyah.. Aku Arland, yang kemarin motret kamu dan teman-teman di kondangan si Dewa dan Dewi”. Aku kirimkan chat itu kepada Reyna, lalu ku ubah foto profile chatku dengan foto saat kondangan, berharap dia mengingatku.
“Oh.. Arland.. Sorry yah.. Gue gak sempat minta nomor lo kemarin”.
“Gapapa, Rey.. Selamat beraktivitas kembali. Aku lanjut nonton film SAW ya.. Lagi seru adegannya nih!”
Chatku itu pun tak dibalas lagi oleh Reyna hingga usai filmnya.
Mungkin kamu bingung, kenapa aku mengejar-ngejar wanita sedingin Reyna?
Karena aku percaya, Reyna bukan pribadi yang dingin. Reyna adalah pribadi yang ramah dan hangat, malah. Dia berbicara seadanya, karena dia belum mengenalku saja. Justru dengan fakta itu, aku semakin tertarik kepada Reyna. Dia tidak mudah menerima ajakan orang-orang yang belum bisa membuat dia nyaman. Kalau Reyna adalah sosok yang dingin seperti yang kamu pikirkan, dia tidak akan pernah tergerak untuk membalas chatku tadi. Karena itu adalah chat pertama yang aku kirimkan kepadanya. Itulah kenapa, aku percaya Reyna bukan sosok yang dingin, Reyna hanya belum mengenalku saja. Jadi.. Inilah usahaku, untuk membuat Reyna mengenalku.
=***=
Aku turun dari motor besar yang ku parkirkan di dekat lobby hotel. Ku lepaskan helm dan jaketku, dan mendapati tubuhku berkeringat luar biasa. Aku baru sadar, mengenakan jaket bersamaan dengan jas dan kemeja berdasi serta kaos singlet secara bersamaan untuk mengarungi macetnya jalan Jakarta, bukanlah ide yang cemerlang. Aku yang awalnya ingin berdandan layaknya seorang gentleman, malah terlihat kayak mas-mas eksmud yang abis mabuk di tempat karaoke.
Aku mencoba merapihkan kemeja dan jasku, lalu mengalungkan kamera di leherku sambil berjalan masuk ke hotel. Sesampainya di ballroom, aku mendapati sebuah pesta pernikahan yang megah. Tamu sudah mondar-mandir menyicipi menu resepsi yang terhidang di hampir semua sudut ruangan, kecuali panggung pelaminan.
“Arland!!” Tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang, aku menolehkan wajahku ke arah suara yang memanggil namaku.
“Oh.. David! Udah nyampe duluan ternyata!” Nanti akan ku ceritakan siapa si David ini. Atau mungkin nanti pelan-pelan kamu akan mengerti.
David merangkul pinggang seorang wanita yang sedang berdiri di sampingnya. Terlihat jelas, wanita itu adalah seorang keturunan Indonesia dan negara barat.
“Stevanny!” Wanita itu menyodorkan tangannya kepadaku.
“Arland..” Ku sambut jabatan tangannya dengan senyum ramah yang terbentang di wajah.
David menarik tangan Stevanny, “Udah.. Jangan lama-lama.. Ntar ketularan jomblo Arland, kita! Hahaha!”
Aku sudah tak bisa merasa kesal dengan celetukan David yang membahas tentang kesendirianku. Aku dan David memang berbeda. David bisa dengan mudah berganti pasangan karena wajahnya yang rupawan. Sedangkan aku, aku memiliki kekuatan super di mana wajah dan namaku mudah dilupakan oleh para wanita. Karena mungkin, penampilanku bisa membawa mimpi buruk di tidur mereka.
“Lo kondangan sendirian lagi nih?” David bertanya sambil menyodorkan minuman yang dia ambil dari nampan waiter yang lewat.
“Iya.. Emang mau sama siapa lagi?” Aku menyeruput minuman dari David tadi.
David meletakkan gelas kosongnya di meja, lalu merangkul pundakku, “Makanya bro.. Move on dong! Gagal setelah tunangan bukan berarti lo bakal gagal punya istri selamanya kan?”
“Udah nyoba.. Tapi gimana ya, Vid.. Nggak ada rasa lagi sama cewek!” Aku menenggak habis minuman di gelas, lalu ku letakkan gelas itu di meja.
“Oke.. Nggak ada rasa lagi sama cewek, ya? Udah nyoba daftar fitness belum lo?”
“Ha? Maksudnya?” Aku mengernyitkan dahi.
“Coba daftar fitness, lalu dateng ke tempat gym. Lo perhatiin deh mas-mas kekar di sana pas lagi squat. Siapa tau lo jadi ada rasa pas liat bokong mereka menutup dan membuka. Hahahaha!” David menepuk pundakku sambil tertawa puas.
“Ngaco! Nggak ada rasa lagi sama cewek, maksudnya belum ada lagi cewek yang bisa menggetarkan hatiku, Vid”.
David mendekat, lalu berbisik di telingaku, “Halah.. Nggak perlu nunggu hati bergetar.. Yang penting kan selangkangan lo masih bisa getar. Lo pikir, gue ama Stevanny baper-baperan? Enggak!”
Aku melirik ke arah Stevanny, dia menggigit-gigit bibirnya sendiri sambil mengedipkan sebelah mata ke arahku. Aku pun menundukkan kepala.
“Itu kamu nemu di Tinder lagi, Vid?”
“Iya lah.. Mana lagi?! Udahlah.. Soal hati, nggak usah lo bawa ribet. Kalo belum bisa dapetin pasangan jiwa, seenggaknya dapetin dulu pasangan biologis, bro!” David menepuk punggungku pelan-pelan.
“Hmm.. Nggak deh.. Aku percaya, sendirian itu lebih baik dibanding menjalani hubungan tanpa perasaan”.
“Ahelaaah.. Umur lo berapa sih? 25 kan? Masih muda! Masih bisa hura-hura!” David kembali menyodorkan minuman yang dia ambil dari waitress.
“Ya udah.. Kalo itu cara kamu.. Tapi caramu itu nggak selalu bisa dijalani orang lain juga, Vid. Aku nggak bisa nyentuh cewek yang nggak bisa menggetarkan hatiku. Lebih parahnya lagi, udah sekian tahun ini, nggak ada cewek yang bisa membuat hatiku deg-degan, atau setidaknya kangen setelah kenalan”.
“Lo trauma, Land.. Itu yang bikin lo takut memulai hubungan. Dan lo nggak sadar kalo lo punya ketakutan itu”
“Ah.. Nggak kok.. Aku nggak takut sama cewek” Jawabku sambil membuang muka.
“Emang lo nggak bakal ngerasa, tapi alam bawah sadar lo yang ngerasa! Alam bawah sadar lo yang matiin bibit-bibit perasaan lo ke cewek-cewek yang lo kenal”. David mencolek ulu hatiku dengan telunjuknya.
“Ntahlah Vid.. Aku sih masih santai aja.. Hidup sendiri, bisa memenuhi segala kebutuhan, bisa mengejar semua kesenangan, tanpa ada yang ngatur, tanpa ada yang ganggu. Mungkin aku akan nyaman dengan hidup semacam ini. Ntah sampai kapan..”
“Yakin lo?” David tersenyum mengejek, sambil mengelus rambut Stevanny. Mata Stevanny berputar, seakan-akan terangsang atas sentuhan David.
“Yakin! Lebih baik sendirian, dibanding berhubungan dengan keterpaksaan!” Aku tenggak minuman di gelas sampai habis dalam sekali teguk.
David memegang daguku dengan kedua tangannya, lalu mengarahkan pandanganku kepada seorang wanita yang sedang mengobrol bersama beberapa temannya di salah satu sudut ruangan ballroom. Wanita itu terlihat amat sempurna. Mancung hidungnya, lurus dan panjang rambutnya, merah bibirnya meskipun tak memakai lipstik, melainkan hanya lip-balm. Jantungku bergetar hebat, keringat dingin mulai menyeruak, dan aku pun menelan ludah.
“Siapa dia, Vid?” Tanyaku sambil tetap terpaku kepada wanita itu.
“Yeee!! Katanya yakin nyaman dengan kesendirian?! Hahahaha!!”
Selama ini aku merasa, aku sudah terbiasa dengan kesendirian ini. Kalau kamu berpikir aku tak pernah mencoba, itu salah. Aku sudah mencoba berkali-kali untuk menyayangi dan mencintai wanita lain setelah aku bubar dengan tunanganku. Namun, yang aku rasakan hanyalah sebuah kehambaran. Tak ada hal yang aku bisa kenang dari wanita-wanita itu. Tak ada perlakuan menyentuh dari mereka yang mampu menggerakkan hatiku. Sehingga, saat aku mencoba jujur mengatakan aku tak bisa menyayangi mereka, aku hanya mendapatkan cap pria brengsek. Namun, wanita ini.. Berbeda. Dia mampu menyentuh hatiku tanpa perlu berinteraksi langsung. Dia mampu membuatku terpana, tanpa perlu bertatapan mata. Dia bisa membuatku ingin mendekat, tanpa perlu memanggil. Apakah ini cinta yang kembali setelah selama ini absen dari kehidupanku? Iya.. Hatiku tak tercuri, dia jatuh sendiri.
“Sana.. Ajak kenalan, lah!” David mendorongku untuk berjalan mendekati wanita itu.
Aku rebut minuman dari tangan David, lalu ku tenggak habis, sambil berjalan ke arah gerombolan wanita itu.
Aku perhatikan mereka sedang asyik berfoto bersama dengan handphone.
“Kok fotonya agak gelap-gelap siluet semua, ya?” Wanita yang mempesonaku itu berkata kepada teman-temannya.
Aku tarik nafas dalam-dalam, lalu aku mencoba nimbrung, “Itu karena kalian membelakangi cahaya. Makanya kamera handphone tidak akan cukup untuk mengambil gambar yang tajam di kondisi seperti ini”.
Wanita itu menoleh ke arahku sambil mengernyitkan dahi.
“Hai! Namaku Arland” Aku menyodorkan tanganku ke arah wanita itu.
“Reyna” dia menyambut jabatan tanganku dengan ramah. Lalu aku juga menyodorkan tanganku ke arah teman-teman Reyna. Kami semua berkenalan, namun aku hanya akan mengingat nama Reyna saja.
“Um.. Aku perhatikan, kalian nyoba foto dari tadi. Boleh aku bantu fotoin kalian?” Aku menawarkan diri sambil menyodorkan kameraku ke arah Reyna.
“Boleh dong!! Ayo fotoin kita!!” Salah satu dari teman Reyna menyambar, dan menarik Reyna untuk berdiri berjajar dan bersiap. Aku memandangi Reyna, seolah mata kami bicara. Reyna kemudian menganggukkan kepalanya.
Aku pun mulai menyalakan kamera, lalu mengatur pose Reyna dan gank-nya. Beberapa foto ku ambil, namun sebagian besar dari foto itu, diam-diam hanya ku ambil close-up Reyna saja. For research purpose, tho.
Setelah mengambil beberapa foto, aku tunjukkan beberapa foto yang berisi mereka bersama-sama.
“Waaah.. Bagus ya!!”
“Aaah.. Akhirnya pipiku terlihat tirus!!”
“Wah.. Lenganku nggak sebesar betis sapi lagi!!”
Beberapa celetukan dari teman-teman Reyna, menunjukkan kalau mereka menyukai hasil fotoku. Aku pun mendekat ke arah Reyna.
“Umm.. ini nanti fotonya aku kirim via Whatsapp ke kamu, ya?”
Reyna sempat mengernyitkan dahi, lalu menjawab, “Eh? Okay.. Makasih ya!”
“So.. What’s your number?” Aku menyodorkan handphone-ku ke Reyna. Kemudian Reyna mengetikkan nomornya di handphone-ku, lalu dia save nomor itu atas namanya.
“Terima kasih.. Reyna”. Ucapku sambil menerima kembali handphone-ku darinya. “Oiyah.. Kalo foto dikirim via WA, nanti akan kekompres, jadi gak tajam.. Aku email aja ya!” Mendengar tawaranku itu, Reyna menjawab, “Mau alamat emailku juga?”
“If you don’t mind..” Aku kembali menyodorkan hapeku kepada Reyna. Aku sengaja meminta alamat emailnya, untuk menemukan akun-akun sosial medianya. Agar aku bisa mengenal lebih jauh tentang dia, nggak cuma sekedar mengagumi indah wajahnya saja.
“Nih..” Reyna mengembalikan hapeku setelah dia mengetikkan alamat email.
“Terima kasih, dan tunggu emailku ya!” Reyna mengangguk, tersenyum sambil melihatku, lalu kembali mengobrol dengan teman-temannya. Aku pun bergegas pergi meninggalkan Reyna dan teman-temannya. David mengangkat gelasnya dari kejauhan sambil mengedipkan sebelah matanya ke arahku. Aku tersenyum ke arah David, penuh ceria.
===
Bersambung..